Billboard di simpang lampu merah Indomobil/indosat lama
Bulan Ramadhan akan kita jalani. Kebahagiaan, kegembiraan dan kemuliaan dirasakan oleh setiap diri sesuai dengan tingkat usahanya. Ada yang biasa-biasa saja.
Melengkapi fenomena yang terjadi pasca ramadhan, ada lelucon yang menantang untuk melecut pemahaman ibadah setiap diri.
Diceritakan seorang Guru bertekad untuk menghancurkan secara sistematis setiap doktrin, kepercayaan, dan konsep yang salah tentang ajaran ketuhanan, karena hal-hal yang semula dimaksudkan sebagai petunjuk ini sekarang malah dianggap sebagai penjelasan. Ia suka mengutip kata-kata bijak dari Timur: "Bila orang bijak menunjuk bulan, yang dilihat orang bodoh adalah jari."
Maksud lelucon ini adalah yang ingin disampaikan dan dijelaskan kepada khalayak adalah tentang bulan, tempatnya yang tingi, rotasinya, cahayanya yang putih dan lain sebagainya pernak-pernik yang berhubungan dengan bulan. Akan tetapi justru yang diamati oleh khalayak adalah jari sang guru. Jemari yang digunakan guru untuk menunjuk bulan, bagaimana posisi jari, arahnya kemana dan seperti apa sudut yang dibentuknya dan melupakan esensi bulan.
Anda boleh ketawa, sebelum ketawa itu dilarang. Percayalah bahwa fenomena seperti ini masih mewabah di sekeliling kita. Bukan menunjuk mereka yang di luar sana, di kalangan kita pun masih ada. Bahkan boleh dikata banyak.
Saya yakin, di bulan puasa kemarin semua orang mengukur diri dengan 5 sukses ramadhan. Anak saya yang baru baligh pun gethol untuk meraihnya. Bagaimana dia bisa sukses menjalankan puasa di siang hari penuh selama 29 hari Ramadhan. Alhamdulillah berhasil. Kemudian selepas berbuka, berebut berangkat ke masjid untuk mengejar tarawih agar tidak ketinggalan. Alhamdulillah bisa shalat tarawih setiap malam di bulan ramadhan. Dengan berbata-bata berusaha membaca kitab suci al-quran di sela-sela waktunya agar bisa mengkhatamkan 30 juznya. Juga ikhtiar bisa shodaqoh ramadhan dan zakat fitrah sebagai penutup puasanya. Serta mengejar malam lailatul qodar yang berat dengan beri’tikaf di 10 malam terakhir di bulan ramadhan. Taharrau lailatul qodar. Alhamdulillah bisa. Namun ada mata rantai yang putus di sini. Ternyata pasca ramadhan semua itu seolah hilang ditelan bumi.
Dalam pemahaman dan pemikiran anak saya yang sederhana, 5 target sukses itulah yang harus dikejar di bulan ramadhan, lain tidak. Kalau bisa meraihnya berarti sukses, kalau tidak berarti gagal. Untuk ukuran pemula tidak salah dengan model pemahaman seperti ini. Namun bagi mereka yang fastabiqul khairot, berlomba dalam kebaikan dan beramal shalih, seharusnya memampukan melihat bulan daripada melihat jari.
Model seperti anak saya, habis puasa ya sudah kembali seperti kehidupan semula. Disuruh puasa sunah banyak alasan. Diminta sholat sunah katanya sudah kebanyakan. Diingatkan baca quran, malas. Alih-alih merasa sudah khatam sebulan yang lalu. Bangun malam apalagi? Susah minta ampun. Shubuh saja harus berjuang mati-matian membangunkannya agar tidak kesundul sang matahari. Masih memandang sebelah mata untuk urusan sedekah dan kedermawanan. Model seperti anak saya, hanya baik dan berlaku baik hanya di bulan puasa saja. Selesai puasa, ya sudah kembali ke habitat asal. Padahal sejatinya dibalik 5 sukses itu, ada harapan besar dari pencetus program lebih dari sekedar meraihnya sebagai standar kesuksesan.
Setidaknya dengan berpuasa sebulan penuh di bulan ramadhan, bisa meneruskan puasa sunah di luar bulan ramadhan. Dimulai dari puasa 6 hari di bulan syawal, kemudian puasa-puasa sunah di hari dan bulan yang lain. Tidak berhenti hanya puasa di bulan ramadhan. Dengan sukses tarawih dan taharrau lailatul qodrnya diharapkan bisa menjalankan dan membiasakan sholat sunah 11 rekaat setiap malam. Setidaknya menjaga sholat witirnya, walau hanya 1 rekaat saja. Dengan sukses mengkhatamkan quran di bulan ramadhan, diharapakn selepas ramadhan menjadi generasi qurani, yang setiap bulan bisa mengkhatamkan al-quran. Kalau tidak mampu sebulan mungkin 2 bulan, 3 bulan sekali khatam qur’an. Jangan hanya akan ketemua khatam quran di ramadhan yang akan datang. Setelah berlatih sedekah dan kedermawanan di bulan ramadhan, kemudian menjadi orang yang suka bersedekah, walau hanya dengan berkata yang ma’ruf saja. Jika bisa memaknai kehadiran bulan ramadhan seperti ini, inilah yang dimaksudkan 5 sukses sebagai terusan dari firman Allah agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqoroh:183).
Status taqwa – melihat ayat di atas, itu sebagai buah dari berpuasa dan amalan-amalan lain yang dikerjakan selama bulan puasa, seperti dengan 5 sukses misalnya. Bukan bermakna bertaqwa dan berbuat baik hanya di bulan puasa saja. Oleh karena itu bagi mereka yang diberi hikmah oleh Allah, selalu memaknai datangnya bulan ramadhan sebagai bulan pelatihan, melewati jalan-jalan ketaqwaan dengan istilah 5 sukses ini. Hasilnya – (baca harapannya), selepas ramadhan, ada hasil yang tampak dari proses pelatihan tersebut. Misalnya tetap rajin puasa sunah, walau hanya puasa sunah senin dan kamis. Atau tetap bisa merutinkan bangun malam dengan sebelas rekaat, di samping sholat sunah yang lain. Baca qurannya masih terus berlanjut dan bergairah. Dalam setahun, sebelum ramadhan tahun depan, bisa khatam 3-5 kali lagi. Juga mempunyai bibit kedermawanan yang semakin hari semakin tumbuh subur dan berbagi. Dengan demikian tertanam kefahaman yang benar bahwa target 5 sukses di bulan ramadhan bukan tujuan akhir, melainkan jalan, tujuan antara, penghubung dan jembatan menuju pribadi-pribadi yang taqwa yang akan menghiasi perbuatan-perbuatan zaman sepanjang tahun di luar ramadhan. Namun jika kita berhenti, mengambil jarak 5 sukses ini hanya pada sequel/potongan di bulan ramadhan saja, bukan hanya tujuan menjadi pribadi taqwa yang diharapkan Allah gagal, justru kita mempertentangkan dua hal yang seharusnya bersinergi. Meminjam lelucon di atas, kita hanya berkutat di seputar jari, bukan jemari yang menuju dan menunjuk bulan. Benarkah? (FA) sumber ldii.or.id